Bagaikan tangen 90 yang tak terhingga di batas metropolitan Allah menunjukkan kembali kuasa-Nya. Pada hari rabu di suatu petang belasan tahun lalu--tangis bahagia menghujani sebuah Rumah Sakit di bilangan Jakarta Timur. Seorang bayi yang berkelamin perempuan terlahir sempurna. By the way, itu adalah aku--hehe. Mulai petang itu secara bertahap Allah menuntunku mempelajari banyak hal melalui orang tua dan orang-orang disekitarku. Mulai dari bicara A I U sampai membaca Al-Qur'an dan berhitung. Hingga pada suatu waktu, Allah mengajarkan aku bab yang sebelumnya belum pernah aku tahu--disaat aku mulai memasuki fase menuju dewasa--Remaja. Semua bermula dari kata yang begitu sederhana--Cinta.

       Allah ya Robb...Ketika Engkau titipkan rasa yang Subhanallah begitu indahnya--aku seakan lupa bahwa rasa itu adalah milik-Mu dan suatu hari aku harus mengembalikannya. Bercengkrama dengan kesendirian menjadi teman baik buatku disaat semua tiada dan kegalauan datang menyapa. Bagiku, ujian kali ini terasa begitu berat menandakan betapa rapuhnya jiwa ini--aku gagal. Begitu kata hatiku saat aku mulai menyadari bahwa kehancuran telah menggerogoti hampir setiap lekuk peranku. Aku tak lagi akan menyesali karena penyesalan takkan mampu mengembalikan semua yang terlanjur terbunuh--mungkin takkan kembali.

       Pernah aku berharap ketika dirinya hadir dan mendekat padaku. Tapi asa itu secepatnya mati karena dia hadir sekejap mata kemudian segera berlalu. Tentu aku tak berdiam diri melihatnya pergi tanpa permisi. Aku merangkak memintanya kembali--membiarkan bebatuan jalang melukai lutut dan telapak tangan ini. Sejenak suaraku meredam menemui langkahnya yang terhenti dan membalikkan raganya hingga ku mampu melihat wajahnya di sudut mataku. Namun segera air mataku berjatuhan sesaat setelah dia ucapkan 'maaf' dan tak mengabaikanku lagi. Aku ingin sekali kembali berlari mengejarnya. Tapi, bukankah itu tak cukup alasan untuknya mengubah keputusan? Hatiku menjerit. Dadaku sesak. Aku terus saja memanggilnya dan meneriakkan namanya. Tak bisakah kau turut membawaku dalam genggamanmu?

       Sudah sekian kali musim berganti sejak hari itu terlewati. Aku tetap mengingat sepenggal ucapannya--kita akan bertemu kembali jika kita berjodoh--Aku percaya dan memasrahkan apapun yang Allah takdirkan. Sampai saat ini Aku merajut jalan yang akan ku tapaki menuju ujung negeri--tanpamu. Rasa itu masih bertahan, di sini, di hatiku. Segera ku tinggalkan semua kenangan akan dirinya dan metropolitan--lengkap dengan cerita asam manis kehidupan. Suatu hari jika aku kembali, aku ingin mencintai metropolitan sebatas tempatku terlahir dan dibesarkan--aku ingin menata kembali kehidupan.


ddnn *